Kalam Allah
Kalam Allah; Qadim atau Hadis?
Sebelumnya telah kita
buktikan bawa para penganut agama-agama samawi meyakini bahwa Allah memiliki
kalam dan berbicara. Dan berbicara adalah salah satu dari sifat Allah. Mereka
meyakini bahwa Allah berbicara dengan para nabi dan dengan perantaraan para nabi
itu Allah menyampaikan dan menurunkan perintah serta larangan-Nya. Yang menjadi
fokus pembahasan kita kali ini adalah apakah kalam Ilahi itu bersifat hadis
(sesuatu yang tercipta) atau qadim (bersifat azali)?
Pembahasan mengenai
qadim atau hadisnya kalam Ilahi merupakan salah satu pembahasan teologi di awal
terbitnya agama Islam dan juga merupakan pembahasan teologi yang dipandang
paling rumit dan selalu menjadi pembahasan dalam sepanjang sejarah Islam.
Pembahasan ini tidak hanya dibahas oleh umat islam, tetapi juga telah dikaji
sebelumnya oleh para penganut agama Kristen.
Dengan melihat relasi
antara umat Islam dan umat Kristen bisa kita perkirakan terjalin keterikatan
saling mempengaruhi dalam masalah akidah dimana hal ini bisa dibuktikan dengan
merujuk kepada kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab teologi.
Sebenarnya pembahasan
apakah kalam Ilahi itu bersifat qadim atau hadis terdapat banyak pendapat dan
akan kami sebutkan sebagai berikut:
1. Mazhab Hanbali
Pengikut Ahmad bin
Hanbal memandang bahwa kalam Ilahi itu berasal dari suara dan huruf yang ada
dalam zat Allah Swt dan termasuk qadim. Sampai-sampai sebagian dari mereka
meyakini secara ekstirm bahwa jilid dan pembungkus kitab al-Quran itu pun
termasuk qadim. Untuk membuktikan pendapatnya, mereka mengemukakan dalil
sebagai berikut:
"Pertama bahwa zat
Allah itu qadim, dan kedua adalah bahwa kalam itu sebagai sifat Allah, sifat
bagi zat yang qadim harus juga qadim karena apabila sifat bagi zat qadim itu
adalah hadis (baru-tercipta) maka akan menyebabkan perubahan pada zat qadim
tersebut dan perubahan pada zat Allah adalah mustahil. Oleh karena itu, kalam
Ilahi yang merupakan sifat Allah adalah qadim.
Untuk menjawab
pandangan Mazhab Hanbali ini kita bisa mengatakan bahwa tidak ada keraguan
bahwa Allah itu Mutakallim (subyek yang berbicara), tetapi makna
ke-berbicara-an adalah yang darinya tercipta suatu kalam atau ucapan dan bukan
yang senantiasa melakukan perbuatan berbicara itu.
Allah memiliki sifat
berbicara dan bukan memiliki sifat kalam atau bicara. Kalam, bicara, ucapan,
dan firman adalah sesuatu yang baru (hadis). Dan zat Allah Swt yang
memiliki sifat berbicara bukan bermakna bahwa zat itu yang menjadi sumber dan
asal bagi bicara, kalam, firman, dan ucapan sehingga dipandang sebagai hal yang
qadim.
Qadhi 'Adhiduddin
mengatakan bahwa secara jelas bahwa akidah Hanbali mengenai hal itu adalah
batil. Beliau menulis sebagai berikut, "kalam adalah sebuah eksistensi
gradual yang antara satu huruf dengan huruf yang lain tercipta saling
kebergantungan dan hal itu berarti hadis, kalam yang tersusun dari peristiwa
tersebut maka pasti juga bersifat baru. Kalam adalah sebuah eksistensi yang
berawal dan berakhir, oleh karena itu ia bersifat baru.
2. Aliran Karamiyah
Aliran Karamiyah
meyakini bahwa kalam Ilahi terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi
itu bersifat hadis dan menyatu dengan zat Allah Swt, dan mereka mengatakan
bahwa tidak ada masalah menggandengkan sifat hadis pada yang zat yang qadim.
Allamah Hilli
mengomentari pendapat Karamiyah sebagai berikut, "Wajib al-Wujud (Allah
Swt) tidak menerima sifat yang hadis (yang baru) dengan tiga dalil:
pertama, ke-hadis-an dan ke-baru-an pada zat Allah menyebabkan perubahan
yang bersifat reaktif dalam diri-Nya dimana hal ini sangat berkontradiksi
dengan zat Wajib al-Wujud, karena setiap perubahan itu merupakan sifat bagi
benda-materi dan Allah bukanlah materi dan benda. Kedua, jika Allah Swt
dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka sifat yang hadis itu
pun harus azali, karena sebabnya adalah azali, sementara anda mengatakan bahwa
hadis tersebut adalah sesuatu yang baru terwujud (yakni pernah tiada dan
sekarang menjadi ada), dan jika zat sebab itu bukan zat Wajib al-Wujud maka
kemestiannya adalah bahwa dia memiliki sifat hadis dan membutuhkan kepada
sesuatu yang lain, dan hal ini juga tidak layak bagi Wajib al-Wujud. Ketiga,
hadis itu jika termasuk sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka mustahil
sifat tersebut tidak termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena Tuhan
niscaya memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu merupakan
sifat cacat dan kekurangan maka mustahil Tuhan memiliki sifat tersebut.
3. Akidah Asy’ariah
Kaum Asy’ariah meyakini
bahwa kalam itu adalah qadim dan menyatu dengan zat Allah. Abu al-Hasan
al-Asy'ary berkata, "Allah berbicara dengan kalam, dan kalam-Nya itu
bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan pada rakyat, dan penguasa
senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka dia adalah penguasa.
Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau memerintahakan sesuatu
yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan eksis pada zat Allah
itu sendiri? Hadis mustahil menyatu dan eksis pada zat Allah karena akan
menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu yang baru. Dan hal
ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu menyatu dan eksis pada
wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut memiliki sifat kalam
dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula, mustahil eksis pada wadah
selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada
zat Allah serta menjadi sifat Allah.
Kemudian Abu al-Hasan
al-Asy'ary melanjutkan, "Kalam Allah tidak lebih dari satu dengan ibarat
yang beraneka ragam yang diberi nama perintah, larangan, berita, janji dan ancaman.
Kesemuanya itu tidak lebih dari satu hakikat. Muatan dan kandungan kalam Ilahi
yang azali dan malaikat menyampaikannya kepada para nabi dengan
indikasi-indikasi, alamat, dan tanda-tanda kalam, namun bukan kalam Allah yang
azali. Indikasi, alamat, dan tanda adalah makhluk dan hadis, akan tetapi isi,
makna, dan kandungan kalam Ilahi yang bersifat qadim dan azali. Perbedaan
antara bacaan dan yang dibaca, menelaah dan yang ditelaah seperti perbedaan
antara ingatan dan yang diingat, zikir atau ingatan adalah hadis akan tetapi
yang diingat itu adalah qadim.
Syahrestany setelah
menukil ungkapan tersebut menjelaskan akidah Asy’ariah dalam masalah kalam
Ilahi sebagai berikut, "Kalam dalam pandangan Asy’ariah adalah maknanya
yang menyatu dan eksis pada jiwa sang mutakallim, tetapi tidak menyatu
dengan lafas dan ibarat. Ibarat adalah indikaasi-indikasi dari kalam manusia.
Oleh karena itu, mutakallim adalah seseorang yang menyatu kalam dan eksis pada
dirinya. Hal ini berbeda dengan Muktazilah mengatakan bahwa mutakallim adalah
orang yang mencipta kalam dan lahir dari dirinya. Menurut Asy’ariah penggunaan
kalam pada ibarat adalah heteronim atau bersifat majazi.
Oleh karena itu, dalam
akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan hadis
dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan zat
Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini
bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang
bersifat qadim dan menyatu serta eksis pada zat Allah Swt. Dalam menjelaskan
makna kalam nafsi mereka mengatakan sebagai berikut, "Mutakallim sebelum
berbicara pada saat yang sama ada dalam pikirannya makna kata-kata yang
kemudian akan diiucapkan dan kalam yang dilafazkan itulah yang akan mengindikasikannya,
mutakallim dengan melafazkan kata-kata bermaksud memberitahukan makna yang ada
dalam pikirannya dan menyampaikan kepada para pendengar, makna yang ada dalam
pikiran pembicara inilah yang disebut dengan kalam nafsi.
Dikatakan bahwa,
"Kalam nafsi tidak lebih dari satu hakikat yang terwujud dalam bahasa yang
beraneka ragam dan bahkan bisa hadir dalam bentuk tulisan dan isyarah.
Dikatakan bahwa,
"Kalam nafsi bukan ilmu karena manusia terkadang menyampaikan sesuatu
padahal dia tidak memiliki pengetahuan terhadap hal tersebut, dan terkadang
menyampaikan sesuatu yang kenyataannya bertentangan dengan apa yang
disampaikan. Kalam nafsi bukan iradah karena manusia terkadang memerintahkan
sesuatu padahal dia tidak menginginkan hal tersebut terjadi akan tetapi
tujuannya adalah menguji orang yang diperintah. Oleh karena itu, kalam nafsi
tidak termasuk kategori ilmu dan iradah, akan tetapi sesuatu yang lain yang
terkait dengan obyeknya dimana terbagi dalam bentuk perintah dan larangan,
berita, pertanyaan, dan panggilan."
Dikatakan bahwa,
"Hakikat kalam adalah kalam nafsi itu sendiri yang qadim dan eksis pada
zat Allah, oleh sebab itu Allah disebut Mutakallim.
Akan tetapi, Muktazilah
dan Imamiah menganggap bahwa kalam nafsi ini adalah sesuatu yang tidak masuk
akal dan tidak benar. Mereka mengatakan sebagai berikut, "Kalam hakiki
dalam pandangan umum masyarakat adalah suara dan huruf yang dilafazkan yang
tercipta dengan perantaraan mutakallim dan bukan maknanya, dan untuk
membuktikan hal yang sangat penting ini dengan bersandar kepada perkataan
seorang penyair adalah bukan hal yang bersifat ilmiah, kedua eksistensi makna
kata yang ada dalam pikiran mutakallim bisa diterima, akan tetapi hanya sebagai
sebuah konsepsi dan pembenaran, mutakallim ketika berbicara akan menggambarkan
makna lafaz tersebut dan berdasarkan makna yang ada dalam pikirannya dia
berbicara. Menggambarkan suatu konsep terkadang dibarengi dengan pembenaran
(tashdiq), tetapi terkadang juga tidak. Dalam masalah yang dia tidak yakini
akan tetapi dia memberikannya, maka dia akan menggambarkan kata-kata tersebut
tetapi tidak membenarkannya. Dalam masalah ujian dan cobaan juga akan
menggambarkan kata-kata dan maknanya, ada keinginan untuk menyampaikan
kata-kata tersebut walaupun tidak menginginkan untuk terlaksananya perbuatan
yang diperintahkan itu, singkat kata, kalam nafsi itu tidak ada, yang ada
hanyalah konsepsi, pembenaran, dan iradah.
4. Akidah Imamiah dan
Muktazilah
Imamiah dan Muktazilah
setelah menggugurkan pandangan Asy'ariah, berpendapat bahwa kalam Ilahi itu
adalah hadis dan mereka mengatakan sebagai berikut: "Kalam Ilahi seperti
kalam manusia yang terdiri dari huruf dan suara yang mengindikasikan sebuah
makna khusus yang berada pada lauh al-mahfuz atau di hati Jibril As. Perbedaannya
adalah manusia ketika hendak mengungkapkan kalam membutuhkan lidah dan mulut
serta tempat keluarnya huruf-huruf (makharij al-huruf), sementara Allah
tidak membutuhkan hal tersebut. Oleh karena itu, kalam memiliki eksistensi
gradual dan sistematik yang berarti hadis. Kalam itu terdapat di tempat
lain, tetapi bukan pada zat Allah. Yang dimaksud dengan Allah sebagai Sang
Mutakallim adalah tercipta dan terlahir kalam darinya, bukan bermakna bahwa
kalam itu menyatu dan eksis pada dirinya, atau dengan kata lain, kalam itu
bersumber dari mutakallim seperti pekerjaan memukul atau membunuh,
pekerjaan ini tidak eksis dan menyatu dengan subyeknya, hal ini berbeda dengan
suatu sifat seperti mengetahui, kodrat, atau warna hitam dan putih dimana
menyau dengan zatnya".
Oleh karena itu,
takallum (berbicara) yang bermakna menciptakan dan mengadakan suara dan huruf
adalah sifat Allah, bukan kalam itu yang sebagai sifat Allah, tetapi kalam itu
sendiri merupakan akibat dari sifat takallum.
Dikatakan, "Allah
menciptakan dan mengadakan suara dan huruf yang memiliki makna dan kemudian
hadir dalam bentuk berita, perintah, larangan, atau pertanyaan di lauh
al-mahfudz atau di hati Jibril As, di hati para nabi atau di salah satu benda
seperti pohon untuk Nabi Musa As, dengan perantaan inilah Allah menyampaikan
maksud dan pesan-Nya. Oleh karena itu, kalam Ilahi adalah salah satu dari
perbuatan Allah dan hadis, seperti mencipta, memberi rezki, menghidupkan
dan mematikan.
Miqdad bin Abdullah
Sayury menulis sebagai berikut, "Makna dari Allah berbicara bukan seperti
manusia yang berbicara dengan perantaraan anggota badan khusus, karena
Allah bukan benda sehingga membutuhkan anggota badan, tetapi maksud dari Tuhan
berbicara adalah mengadakan dan menciptakan huruf dan suara pada satu tempat.
Allamah Hilli dan
Fadhil Miqdad berpendapat bahwa kalam Allah itu berupa suara dan huruf-huruf.
Syekh Mufid ketika
menjawab pertanyaan berikut bagaimana Allah berdialog dengan Nabi Musa As?
Beliau menjawab: dialog
Allah dengan Nabi Musa As adalah dengan cara Allah menciptakan kalam pada
sebatang pohon yang kemudian dengan perantaraannyalah sampai kepada Nabi Musa
As, kalam tidak mengharuskan adanya perubahan kualitas pada pembicara, akan
tetapi hanya membutuhkan tempat untuk pengejewantahannya.
Syekh Mufid di tempat
lain menulis sebagai berikut: "Allah sebagai Mutakallim, yakni bukan
dengan perantaraan anggota badan akan tetapi dengan perantaraan makna dimana
huruf dan suara yang menjadi indikasi bagi makna itu, huruf dan suara ini
kemudian tercipta pada salah satu benda-benda seperti ketika Allah berbicara
dengan Nabi Musa As dengan perantaraan sebatang pohon.
Sebagaimana anda
ketahui bahwa Muktazilah dan Imamiah meyakini bahwa kalam Ilahi itu adalah
suara dan huruf-huruf yang memiliki makna yang Allah ciptakan pada suatu
tempat, dan dengan perantaraan inilah Allah menyampaikan maksud dan tujuan-Nya.
Kalam Ilahi memiliki eksistensi gradual dan hadis dalam rentangan zaman dan
waktu, dan maksud dari Allah sebagai Mutakallim adalah Allah menciptakan suara
dan huruf-huruf. Sumber dan asal kalam Allah adalah sifat kodrat dan iradah-Nya
yang tanpa membutuhkan lidah dan mulut.
Sebuah Kritikan dan
jawaban
Kritikan pertama: Anda
mengatakan bahwa jika iradah dan kodrat Ilahi itu hadis ketika menciptakan
suara dan huruf-huruf maka konsekuensinya adalah zat Allah Swt menjadi tempat
terjadinya sesuatu yang hadis, sementara hal ini telah dibuktikan tidak benar
dan batil. Dan jika iradah dan kodrat Allah itu qadim maka keniscayaannya
adalah kalam itu juga qadim, karena berbedanya akibat dari sebab adalah sesuatu
yang batil.
Jawaban: Bisa dikatakan
bahwa sumber kalam Ilahi yaitu iradah dan kodrat adalah zat Allah itu sendiri
dan qadim, akan tetapi, sesuatu yang satu, yang menciptakan hal-hal hadis
sangat berkaitan dengan sebab dan akibat, kondisi dan lingkungan yang mendukung
serta syara-syarat lain yang diperlukan sepanjang zaman. Dalam sepanjang
sejarah, setiap kali dianggap perlu mengutus nabi dan ada seseorang manusia
memiliki potensi untuk mendengar kalam Ilahi, maka iradah Allah akan terkait
dengan penciptaan suara dan huruf-huruf, dan dengan perantaraan inilah Allah
menyampaikan wahyu-Nya dan menyerahkan sepenuhnya kepada nabi-Nya tersebut.
Kritikan kedua: Jika
kalam Ilahi adalah suara dan huruf-huruf ini dan tersusun seperti kata-kata
manusia, maka seharusnya orang yang ada di sekitar para nabi pun mendengar
suara Allah Swt ketika Allah berdialog dengan nabi-Nya, sementara menurut
kesaksian sejarah hal tersebut tidak pernah terjadi. Keluarga Rassulullah serta
para sahabat ketika turun wahyu hanya menyaksikan tanda-tanda wahyu itu, akan
tetapi tidak mendengar kalam Ilahi.
Kritikan ketiga:
Sebelumnya dalam definisi wahyu telah disebutkan bahwa makna wahyu adalah
cepat dalam perilhamannya, tersembunyi dari yang lain dan bersifat rahasia.
Jika kalam Ilahi adalah suara dan huruf-huruf maka tidak memiliki kedua syarat
tersebut. Maka dari itu definisi wahyu tidak benar, oleh karena itu keyakinan
Muktazilah dan Imamiah dalam masalah kalam Ilahi itu memiliki problem dan tidak
jelas.
Aliran Jabaiyyah dan
Bahsyamiyyah mengatakan: Allah sebagai Mutakallim yakni Dia menciptakan kalam
pada sebuah tempat. Hakikat kalam menurut mereka adalah suara dan
huruf-huruf yang sistematik dan Sang Mutakallim adalah yang menciptakan kalam
dan bahwa kalam itu tidak menyatu dan tidak eksis pada diri-Nya.
5. Pandangan Mu'ammar
bin Ubbad dan Sebagian Ilmuwan Kristen.
Sekelompok orang
berpendapat bahwa Allah tidak memiliki kalam dan al-Quran bukan perbuatan
Tuhan, akan tetapi perbuatan suatu benda yang menerima kalam tersebut. Muammar
bin Ubbad meyakini bahwa Allah pencipta benda-benda yang substansial dan
sesuatu yang aksidental itu merupakan hasil perbuatan dari benda substansial.
Oleh karena itu, al-Quran dan kalam karena merupakan hal-hal yang aksidental,
maka tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan Allah, karena Allah bukan benda
yang substansial.
Syahrestany menukil
dari Muammar sebagai berikut: "Allah tidak menciptakan sesuatu selain
benda, sementara hal-hal yang aksidental adalah hasil ciptaan benda, baik
ciptaan itu secara alamiah dan natural seperti api menghasilkan kekuatan
membakar dan matahari menciptakan panas, ataukah dengan iradah dan ikhtiar
seperti hewan menciptakan gerak dan diam.
Syahrestani melanjutkan
sebagai berikut: Inti perkataan Mu’ammar bin Ubbad adalah Allah sama sekali
tidak memiliki kalam karena kalam itu adalah suatu yang aksidental, dan apabila
tidak memiliki kalam maka Dia tidak memiliki perintah dan larangan, dan jika
perintah dan larangan tidak ada maka syariat pun tidak ada.
Abu al Hasan al Asyari
menulis, "Pendukung mazhab Muammar meyakini bahwa al-Quran itu adalah
sesuatu yang aksidental, dan hal-hal yang aksidental dalam pandangan mereka
terbagi dua, sebagian merupakan hasil perbuatan dari sesuatu yang memiliki ruh
dan sebagian yang lain merupakan hasil perbuatan dari sesuatu yang tidak
memiliki ruh, dan hasil perbuatan dari sesuatu yang tidak memiliki ruh tidak
bisa berubah menjadi hasil perbuatan dari sesuatu yang memiliki ruh.
Al-Quran adalah sesuatu
yang aksidental, dan mustahil Allah menciptakan dan menurunkan al-Quran. Karena
menurut mereka, mustahil sesuatu yang aksidental itu terlahir dari perbuatan
Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah terwujud dari suatu tempat yang
memancarkan kalam itu. Jika dari pohon terdengar suatu kalam maka kalam itu
merupakan hasil perbuatan dari pohon tersebut, dan di mana saja kalam itu
terdengar maka itu merupakan hasil perbuatan tempat tersebut.
Dalam catatan Rawandi
dan Khayaat tertulis: "Mu’ammar meyakini bahwa al-Quran bukan hasil
perbuatan Allah, dan bukan sifat Tuhan, akan tetapi suatu kejadian yang hadir
secara alamiah dan natural.
Penulis kitab
Falsafay-e Ilm-e Kalam menulis sebagai berikut, "Dengan mengumpulkan
seluruh catatan yang bertebaran kita dapat menyimpulkan pendapat Mu’ammar
sebagai berikut: "Kalam Ilahi bukanlah sifat yang menyatu pada zat Allah
sebagaimana keyakinan Sunni, dan bukan sesuatu yang ada di lauh al mahfudz
sebagaimana yang digambarkan oleh Muktazilah sertan bukan sebagaimana yang
dikatakan Nizzam, tetapi kalam tercipta dengan perantaraan sebagian benda
dimana Allah secara khusus menciptakan benda itu supaya mengeluarkan suara. Dan
dengan suara itulah wahyu Allah disampaikan ke umat manusia, benda-benda
tersebut memiliki bentuk khusus dan istimewa yang diciptakan Allah secara
khusus untuk menyampaikan kalam Allah kepada umat manusia, seperti pohon yang
menjadi mediator Allah dalam berdialog dengan Nabi Musa As, demikian pula para
nabi termasuk Nabi Muhammad saw berdialog dengan Allah melalui perantaraan
benda tersebut yang dalam bentuk manusia.
Dengan demikian, Allah
hanya menciptakan secara langsung benda seperti pohon dan badan para nabi,
mereka diciptakan secara khusus sedemikian rupa sehingga bisa mengeluarkan
kalam secara majazi yang disebut kalam Allah. Akan tetapi, perbuatan
menciptakan kalam itu terjadi secara alamiah, demikian pula halnya dengan
fenomena pohon bagi Nabi Musa As, ataukah dengan hasil ikhtiar dari mayoritas
para nabi. Oleh karena itu, al-Quran merupakan hasil karya manusia. Karya
ini memiliki unsur Ilahiah karena nabi yang menciptakannya dengan bekal
kemampuan yang bersumber dari sisi Allah Swt, dan Allah menciptakan para nabi
sebagai wakil dan perpanjangan tangan dari iradah Allah.
Pandangan tersebut juga
diyakini oleh sebagian ilmuwan kristen sebagaimana dikutip, "Dalam naskah
tercatat bahwa wahyu asli adalah Masehi itu sendiri, kalimat Allah dalam bentuk
manusia, kitab suci hanyalah kitab tulisan tangan manusia yang menjadi
saksi atas hakikat wahyu tersebut. Perbuatan Allah dalam eksistensi masehi dan
kitab suci hadir dengan perantaraan masehi, dan kitab suci itu tidak hadir
dengan cara pendiktean langsung dari Allah.
Di tempat lain
tercatat: "Allah menurunkan wahyu bukan dengan mendiktekan sebuah kitab
yang terjaga dari segala bentuk penyelewengan dan kesalahan, akan tetapi hadir
dari kehidupan Masehi, seluruh nabi, dan bani Israel, dalam hal ini kitab suci
bukanlah wahyu langsung dari Tuhan, akan tetapi hasil dari kesaksian manusia
sebagai refleksi atas wahyu dan terkait dengan pengalaman batin manusia.
Kesimpulan dari kajian
di atas adalah al-Quran dan seluruh kitab suci samawi bukan ciptaan Tuhan, akan
tetapi hasil perbuatan para nabi dimana Allah menciptakan wujud mereka dalam
kondisi yang istimewa sedemikian sehingga mampu menyampaikan tujuan, iradah,
maksud dan penjelasan Allah Swt, dan dengan jalan inilah mereka menisbahkan
kitab suci itu kepada Allah Swt yang berisi perintah, larangan, berita dan
membawa kabar gembira.
Argumentasi akidah
mereka sama dengan argumentasi Mu’ammar bin Ubbad sebagai berikut: karena kalam
Ilahi adalah sesuatu yang aksidental dan Tuhan hanya menciptakan benda yang
nonaksidental, maka kalam itu bukan perbuatan Tuhan, akan tetapi perbuatan
manusia atau kalam tersebut bersumber dari suatu tempat tertentu.
Konsekuensi dari
pendapat ini adalah menginkari wahyu dan ke-berbicara-an Tuhan, bahkan akidah
tersebut bertentangan dengan fondasi dasar agama-agama samawi,
kontradiksi dengan nash-nash yang ada dalam al-Quran al-Karim. Dalam al-Quran
al-Karim banyak sekali ayat yang menyinggung masalah ke-berbicara-an
Tuhan, sebagai contoh, "Rasul-rasul itu kami lebihkan sebagian atas
sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung
dengan dia)." (Qs. Al-Baqarah: 253)
Dalam ayat lain Allah
berfirman, "Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu. Dan rasul-rasul yang tidak kami
kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Nabi Musa As
dengan langsung." (Qs. Al-Nisa':164)
Ayat selanjutnya,
"Dan tidak mungkin bagi seseorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakan tabir atau dengan
mengutus seorang utusan malaikat lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya
apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana."
(Qs. Syura: 51)
Di samping itu dalam
beberapa ayat djelaskan bahwa al-Quran dan kitab datang dari Allah Swt
sebagai contoh, "Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan taurat dan
injil." (Qs. Ali Imran: 3)
Dalam ayat lain
disebutkan, "Dan ingatlah Ketika Kami berikan kepada Musa al-Kitab
(taurat) dan al-Furqan (keterangan yang membedakan antara haq dan batil) agar
supaya kamu sekalian mendapat petunjuk". (Qs. Al-Baqarah: 53)
Allah berfirman,
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al quran kalau kiranya al quranitu
bukan dari sisi allah tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di
dalamnya". (Qs. Al-Nisa': 82)
Allah berfirman,
"Dan al-Quran itu diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Quran
kepadanya". (Qs. Al-An'am: 19)
Allah berfirman,
"Dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu yaitu al-Kitab (al-Quran)
itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya." (Qs. Fathir :
31)
Allah berfirman,
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar di beri al-Quran dari sisi Allah yang
Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui". (Qs. An-Namal: 6)
Dari ayat-ayat yang
telah kami sebutkan dan puluhan ayat lain dapat disimpulkan bahwa Allah
berdiallog dengan para nabi dan mengirimkan wahyu untuk hamba-Nya, al- Quran
sebagai kalam Ilahi dan datang dari sisi Allah, perintah dan larangan dari sisi
Allah, semua ini merupakan perbuatan dan ciptaan-Nya. Dan pembahasan ini
termasuk salah satu dari fondasi dasar agama Islam.
Untuk menjawab
argumentasi Mu'ammar bin Ubbad kita katakan bahwa sebagaimana Allah Swt sebagai
pencipta benda-benda, Dia juga memiliki kemampuan dan kekuasaan menciptakan
huruf-huruf dan suara tanpa membutuhkan alat lidah dan tempat keluarnya huruf
(makharaij al-huruf). Manusia dengan perantaraan mulut dan gerak lidah bisa
menciptakan gelombang suara dalam bentuk huruf dan kata-kata yang menunjukkan
pada makna khusus. Allah Swt mampu menciptakan gerak dan gelombang suaru tanpa
melalui perantaraan alat jasmani.
Oleh karena itu, kalam
dan perbuatan berbicara yang dinisbahkan kepada Allah adalah bersifat hakiki
dan al-Quran adalah kalam ciptaan Allah Swt. Sebaliknya, penggunaan kata
"kalimah" pada Nabi Isa As dalam al-Quran itu bersifat majazi sebagai
berikut, "Sesungguhnya al Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah
dan kalimatNya." (Qs. Al-Nisa' :171)
Pada penutup ini, kami
perlu garis bawahi satu hal bahwa sekalipun Allah itu sebagai Mutakallim yakni
terlahirnya kalam dari-Nya dan termasuk fondasi keyakinan dasar agama, akan
tetapi mekanisme dan tatacara turunnya ayat-ayat al-Quran adalah persoalan yang
belum jelas dan termasuk salah satu tema pembahasan wahyu yang paling rumit.
Syarh al-Mawaqif, jilid
8,Hal. 92. Shirat al-Haq, jilid 1, hal. 294
Syaarh al Muwaqif,
jilid 8, hal. 92
Ibid.
Kasy al-muraad fi syarh
tajrid al i'tiqad, hal. 228
Al- milal wa al-Nihal,
jilid 1, hal. 95
Ibid, hal. 96.
Ibid.
Syarh al-Mawaqif, jilid
8, hal. 93, Sywariq al-Ilham, hal. 414 &555, Lama'at al-Ilahiyyat, hal.
441, Kasyf al-Murad, hal. 224
Shirat al-Haq, jilid 1,
hal. 298, Lama'at al-Ilahiyyat, hal. 441
Shirat al-Haq, jilid 1,
hal. 312. Lama'aat al-Ilahiyah, hal. 441 & 444. Syawariq al-Ilham, hal.
555. Kasyf al-Murad, hal. 224 &170.
Al-'Itimad fi syarh
wajib al 'Itiqad, hal. 68
Bab al-Hady 'Asyara,
hal. 28
Mushannifaat Syaikh
Mufid, jilid 6. Al-Masa'il al-'akbaariyyat, hal. 43
Ibid, jilid 1, hal. 27,
al-nukta al-'itiqadiyyah.
Al-Milal wa al-Nihal,
jilid 1, hal. 80
Ibid, hal. 66-67.
Ibid, hal.. 66 dalam
catatan kaki tertulis dinukil dari "maqaalaat al Islamiayah
Falsafa-ye Ilm-e Kalam,
hal. 298
Ibid, hal. 300
Ilm wa Din, hal. 145
Ibid, hal. 131
Komentar
Posting Komentar